PRAKTEK EKONOMI INDONESIA DI GUGAT KWIK KIAN GIE
Menggugat Praktik Pembangunan Ekonomi Indonesia Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Sejahtera Senin, 21 Juni 10 Sistem Ekonomi Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan – hanya sebuah ilusi? Adakah relasi antara Sistem Ekonomi Politik (Ideologi) dan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi serta Kesejahteraan? Anthony Budiawan Direktur Eksekutif Indonesia Institute for Financial and Economic Advancement (IIFEA) Email: anthony.budiawan@iifea-ina.org Pengantar Kita semua bertanya-tanya dan tidak habis mengerti mengapa bangsa Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang cukup besar tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, terbelakang dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapore, dan bahkan terjerumus ke dalam jurang kemiskinan dengan jumlah persentase penduduk miskin, dengan pendapatan di bawah $ 2 (PPP) per hari, tertinggi di antara negara-negara ASEAN-7 (53.8% dari populasi penduduk tahun 2005), lebih tinggi dari Vietnam. Kemiskinan mengakibatkan banyak saudara-saudara kita bekerja di negara-negara tetangga sebagai pembantu rumah tangga, buruh perkebunan, buruh bangunan dan buruh kasar dan rendah lainnya. Tidak sedikit dari mereka yang hidup teraniaya tanpa mendapat perhatian dan perlindungan memadai. Di tanah air, banyak saudara-saudara kita juga hidup dalam kesulitan dan kemiskinan, dan tidak sedikit yang juga teraniaya: penggusuran pedagang kaki lima dan asongan, serta rumah tinggal (semi) permanen di tanah negara atau “daerah hijau” mewarnai berita-berita nasional akhir-akhir ini. Berbagai diskusi telah digelar, baik dalam bentuk seminar, konferensi maupun sImposium, untuk mencari penyebab kemiskinan yang melanda bangsa kita, dan mencari solusi untuk menanggulanginya. Berbagai pertanyaan dilontarkan bagaimana membangun ekonomi Indonesia agar bangsa ini dapat keluar dari jurang kemiskinan. Berbagai usulan dan solusi ditawarkan agar bangsa ini dapat menjadi sejahtera. Namun demikian, sampai saat ini, masih belum ada tanda-tanda yang dapat memberi harapan bagi bangsa Indonesia menjadi sejahtera dan dapat hidup sejajar dengan bangsa-bangsa lain: artinya, tidak menjadi pembantu rumah tangga dan buruh kasar lainnya di negara tetangga. Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan – Sebuah Ilusi? Tidak sedikit ahli ekonomi kita mencoba memberi sumbang saran dan solusi bagaimana membuat bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera. Dalam mencari jawaban dan solusi di atas, diskusi juga berkembang ke arah sistem ekonomi politik dan ketata negaraan yang dianggap sesuai bagi Indonesia untuk dapat menjadi sejahtera dan berazas keadilan ekonomi. Prof. Emil Salim, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan almarhum Prof. Mubyarto sempat melontarkan Sistem Ekonomi Pancasila, yang kemudian juga dikenal dengan Sistem Ekonomi Kerakyatan, sebagai jawaban atas permasalahan ekonomi Indonesia. Tetapi, sayangnya, konsep Sistem Ekonomi Pancasila tidak berkembang sesuai dengan harapan para pencetus gagasan tersebut karena bersifat sangat normatif dan kehilangan realitas sehingga tidak dapat diimplementasikan. Para pengikutnya dewasa ini juga tidak dapat menjabarkannya secara rinci bagaimana operasional Sistem Ekonomi Pancasila sesungguhnya sehingga sulit diterima oleh para ahli ekonomi, teknokrat maupun masyarakat luas. Namun demikian, melihat bangsa Indonesia masih terus berkutat pada kemiskinan, banyak kalangan masih menaruh harapan pada Sistem Ekonomi Pancasila dan Sistem Ekonomi Kerakyatan sebagai jalan keluar untuk mencapai Indonesia sejahtera dan adil. Hal ini disebabkan karena, meskipun Sistem Ekonomi Pancasila belum dapat dibuktikan dapat memberi kesejahteraan bagi bangsa Indonesia, Sistem Ekonomi Pancasila juga tidak dapat dibuktikan akan lebih buruk hasilnya dari sistem ekonomi yang dianut oleh pemerintah Indonesia selama ini, yaitu yang dipercaya oleh masyarakat luas sebagai sistem ekonomi kapitalisme (liberal) atau yang juga disebut dengan neo-liberal, karena Sistem Ekonomi Pancasila memang belum pernah diimplementasikan. Harapan besar tersebut sangat dimengerti oleh para elite partai politik sehingga hampir semua partai politik mengusung program Ekonomi Kerakyatan dalam kampanye legislatif dan Presiden tahun 2009 yang lalu. Tetapi, Sistem Ekonomi Kerakyatan yang dimaksud juga sangat tidak jelas dan bersifat normatif, sama seperti Sistem Ekonomi Pancasila yang merupakan akar dari Sistem Ekonomi Kerakyatan. Sistem Ekonomi Kerakyatan lebih banyak diartikan sebagai sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil atau rakyat miskin, yaitu para petani, nelayan, buruh, pengusaha mikro dan kecil, serta masyarakat miskin lainnya. Memang benar beberapa partai politik tersebut sempat menjabarkan beberapa program Ekonomi Kerakyatan, tetapi tidak terlalu berbeda dengan para pendahulunya, Sistem Ekonomi Pancasila. Lampiran I memuat rumusan Sistem Ekonomi Pancasila dari ke tiga ahli ekonomi di atas. (Tulisan ini tidak membahas rumusan Sistem Ekonomi Pancasila, tetapi meninjau apakah ada korelasi antara Sistem Ekonomi Politik tertentu, seperti Ekonomi Pancasila dan Ekonomi Kerakyatan, terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa.) Dengan demikian, pertanyaan utama yang masih terus menghantui kita adalah, apakah Sistem Ekonomi Pancasila atau Sistem Ekonomi Kerakyatan merupakan solusi yang dapat membawa bangsa ini menjadi lebih sejahtera dengan keadilan sosial yang lebih baik. Apabila tidak, apakah ada sistem ekonomi politik lain yang dapat membuat bangsa kita menjadi lebih sejahtera? Sistem ekonomi yang bagaimana yang tepat bagi Indonesia agar dapat keluar dari kemiskinan? Apakah kita harus mempertajam Sistem Ekonomi Pancasila sehingga tidak terlalu normatif dan dapat dipraktikkan? Pertanyaan-pertanyaan di atas niscaya sulit dijawab, seperti juga konsep Sistem Ekonomi Pancasila yang tidak berhasil dijabarkan selama 30 tahun terakhir ini. Saya khawatir kita akan membuang waktu selama 30 tahun ke depan apabila harus merumuskan kembali Sistem Ekonomi Pancasila untuk mencari solusi permasalahan kemiskinan yang kita hadapi. Pencaharian Tiada Akhir Saya percaya bahwa selama ini telah terjadi salah arah dalam mencari solusi untuk mengantar bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera dan berkeadilan sosial, karena pemecahan permasalahan ekonomi (dalam hal ini, permasalahan kemiskinan dan keadilan sosial) diupayakan melalui sistem ekonomi politik atau ideologi tanpa memperdalam permasalahan ekonomi tersebut. Artinya, apakah dengan mengadopsi sistem ekonomi politik atau ideologi tertentu maka permasalahan ekonomi dapat terpecahkan dengan sendirinya? Di samping itu, upaya menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan melalui Sistem Ekonomi Pancasila telah menimbulkan kontroversi. Indonesia selama ini dipercaya menganut sistem kapitalisme (liberal) yang mengakibatkan negara ini terjerumus ke dalam kemiskinan dan kesenjangan sosial. Sistem Ekonomi Pancasila yang bernafas sosialisme dengan spirit Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan, Kerakyatan dan Keadlian, kemudian ditawarkan sebagai sistem ekonomi politik yang diharapkan dapat memecahkan permasalahan kemiskinan tersebut. Bukankah negara-negara penganut sistem sosialisme (dengan berbagai tingkatan) malah sebaliknya belajar dan kemudian mengadopsi sistem kapitalisme (dengan berbagai tingkatan) untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya? Sejak runtuhnya sistem sosialisme dan komunisme akhir tahun 1989, maka hampir semua negara mempraktekkan Sistem Kapitalisme dengan berbagai tingkatannya. Dengan demikian, pendekatan sistem ekonomi politik dan ideologi sebagai solusi permasalahan ekonomi (kemiskinan dan kesenjangan sosial) yang kita hadapi tidak akan berhasil. Permasalahan kemiskinan dan keadilan sosial tidak unik bagi sistem ideologi tertentu saja, melainkan merupakan permasalahan universal yang dapat ditemui di berbagai negara dengan sistem ideologi yang berbeda-beda: permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial dapat kita temui di negara dengan sistem kapitalisme, misalnya Indonesia (yang diyakini menganut sistem kapitalisme), Philippines atau Mexico, sosialisme, misalnya India, atau komunisme, misalnya Vietnam atau Korea Utara. Tetapi, banyak juga negara dengan latar belakang sistem ekonomi politik yang berbeda dapat mencapai kesejahteraan yang tinggi dan bebas dari kemiskinan. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama lagi, China mungkin akan membuktikan kepada kita semua, kepada dunia, bahwa negara komunis juga dapat menjadi sejahtera. (Atau, apakah China sekarang sudah menjadi negara kapitalis?) Dengan demikian, apabila kemiskinan dan kesejahteraan dapat terjadi di berbagai negara dengan latar belakang sistem ekonomi politik yang berbeda-beda, maka kesimpulannya hanya satu, yaitu bahwa tidak ada korelasi antara sistem ekonomi politik dan tingkat pertumbuhan ekonomi maupun kesejahteraan. Oleh karena itu, pencaharian sistem ekonomi politik bukan merupakan jawaban atas permasalahan ekonomi yang sekarang kita hadapi. Lihat Lampiran II, di mana negara dengan latar belakang sistem ekonomi politik yang berbeda dapat menjadi makmur dan sejahtera. Solusi Permasalahan Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Indonesia Oleh karena itu, permasalahan ekonomi harus dipecahkan melalui proses pembangunan ekonomi. Untuk menjadi negara maju dan sejahtera, kita harus belajar dari proses pembangunan ekonomi negara-negara yang sudah maju terlebih dahulu seperti Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapore, Malaysia dan bahkan China. Meskipun negara-negara tersebut mempunyai latar belakang sistem ekonomi politik dan ideologi yang berbeda-beda, tetapi mereka mempunyai satu kesamaan dalam mencapai kesejahteraan, yaitu ekonomi mereka dibangun berdasarkan struktur industri manufaktur yang kuat dan beragam, terintegrasi, sinergis, dengan skala ekonomis yang tinggi, serta menguasai dan senantiasa memperbaharui teknologi maju. Sebaliknya, negara yang berbasis agrikultur tidak ada yang menjadi negara maju dan sejahtera, kecuali sebelum era revolusi industri. Meskipun begitu, negara maju pada saat itu sebenarnya juga mempunyai industri “manufaktur dan teknologi” yang relatif lebih maju dari negara lainnya yang kurang maju. Hal ini disebabkan karena produktivitas pada industri manufaktur dengan penerapan teknologi maju jauh lebih tinggi dari indutri di sektor primer, yaitu agrikultur dan sumber daya alam. Fenomena ini juga dapat kita lihat di kota-kota di Indonesia: kota berbasis industri manufaktur lebih maju dan sejahtera dari kota berbasis pertanian: Jawa Barat lebih maju dari Jawa Timur karena industri manufaktur di Jawa Barat lebih berkembang. Jawa Timur lebih maju dari Jawa Tengah karena industri manufaktur di Jawa Timur lebih berkembang. “Kota industri” di Jawa Barat seperti Jakarta, Bekasi, Cilegon atau Bandung, lebih maju dari kota lainnya yang berbasis agrikultur atau peternakan, seperti Cirebon, Cianjur dan lainnya. Hal di atas dapat terjadi karena proses pembangunan ekonomi pada prinsipnya akan menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terbagi dalam tiga golongan atau karekteristik, yaitu (1) Decreasing economic returns (2) Constant economic returns dan (3) Increasing economic returns. Decreasing economic returns terjadi apabila persentase kenaikkan output lebih rendah dari persentase kenaikkan input, atau jumlah output menurun dengan jumlah input yang tetap, yang keduanya berarti produktivitas menurun. Constant economic returns terjadi apabila persentase kenaikkan output sama dengan persentase kenaikkan input, yang berarti produktivitas konstan. Increasing economic returns terjadi apabila persentase kenaikkan output lebih besar dari persentase kenaikkan input, yang berarti produktivitas meningkat. Sektor agrikultur dan sumber daya alam mempunyai karakteristik decreasing economic returns: sumber daya alam cepat atau lambat akan habis. Indonesia memproduksi lebih dari 1,4 juta barel minyak mentah per hari pada tahun 2004 dan sekarang hanya sekitar 900.000 barel per hari, di mana hal ini menunjukkan karakteristik decreasing returns. Demikian pula produktivitas di industri pertanian, cenderung menurun untuk jangka panjang kecuali ditemukan teknologi baru, misalnya melalui bioteknologi. Peningkatan metode pertanian, misalnya dengan menggunakan traktor dibanding dengan manual atau tenaga hewan, hanya meningkatkan produktivitas tenaga kerja, tetapi tidak meningkatkan produktivitas lahan. Artinya, produktivitas lahan hanya dapat ditingkatkan melalui penerapan dan inovasi teknologi maju. Sedangkan sektor manufaktur padat karya dengan penerapan teknologi rendah dan upah murah, seperti industri garment, alas kaki atau furniture tradisional, mempunyai karakteristik constant economic returns. Daya saing pada industri ini lebih ditentukan oleh faktor upah buruh murah. Sektor manufaktur padat modal dengan penerapan teknologi maju, seperti industri elektronik, mesin dan perlengkapan mesin, dan banyak lainnya lagi, mempunyai karakteristik increasing economic returns. Produktivitas pada industri increasing economic returns dapat ditingkatkan secara berkelanjutan seiring dengan pembaharuan dan inovasi teknologi. Sebagai contoh, harga mesin pemutar DVD (pertama Laser Disc, kemudian digantikan oleh VCD, dan kemudian digantikan lagi oleh DVD) saat ini hanya sekitar 10% dari harga pada awal teknologi tersebut dikenalkan di pasar, yang mana merupakan refleksi langsung dari peningkatan produktivitas produksi mesin tersebut. Oleh karena itu, suatu negara hanya dapat maju dan sejahtera apabila dapat membangun industri dengan karakteristik increasing economic returns secara signifikan dalam pembangunan ekonominya. Hal ini tidak berarti kita harus meninggalkan industri-industri lainnya (agrikultur, sumber daya alam, manufaktur pada karya). Potensi industri-industri tersebut wajib kita kembangkan, tetapi harus diiringi dengan pengembangan industri-industri dengan karakteristik increasing economic returns. Tanpa itu, pembangunan ekonomi tidak akan maksimal dan sulit mencapai kesejahteraan. Gambar di Lampiran III menyajikan peta industri di masing-masing sektor ekonomi dan dampaknya terhadap pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan ekonomi berbasis industri increasing economic returns merupakan pra-kondisi untuk mencapai kesejahteraan bagi suatu bangsa. Namun demikian, pembangunan industri increasing economic returns tidak dapat terwujud tanpa dukungan dan peran aktif pemerintah (intervensi?) melalui berbagai kebijakan ekonomi, baik dalam bidang ekonomi makro (kebijakan moneter dan fiskal), ekonomi mikro (kebijakan industri dan perdagangan), kebijakan publik serta kebijakan politik yang pro industri dengan karakteristik increasing returns tersebut. Kebijakan pemerintah dimaksud di atas dapat dibagi menjadi dua kategori: 1. Kebijakan pemerintah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan mewujudkan industri dengan karakteristik increasing economic returns 2. Kebijakan pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial yang lebih baik melalui redistribusi pendapatan serta mewujudkan jaminan sosial yang lebih manusiawi bagi rakyat kecil dan miskin. Dalam tulisan selanjutnya kami akan menyajikan pembangunan ekonomi Indonesia seperti dijelaskan di atas untuk mencapai Indonesia Sejahtera dan Adil. Diposkan oleh RADAR JAMBI di 09:18:00 0 komentar Tanggapan Kwik Kian Gie Terhadap Berbagai Pendapat Dan Masukan Tentang Platform Presiden 2009 Tanggapan Kwik Kian Gie Terhadap Berbagai Pendapat Dan Masukan Tentang Platform Presiden 2009 Saya mengucapkan banyak terima kasih atas banyaknya perhatian dan tanggapan tentang tulisan saya tentang Platform Presiden 2009. Kesemuanya merupakan bahan sangat bermanfaat guna perenungan dan penyempurnaan edisi selanjutnya. Respons saya berikan per topik yang tidak banyak, karena bagian terbesar setuju dengan yang saya kemukakan dalam "Platform Presiden 2009". Tentang Dekrit kembali pada UUD 1945, dalam berbagai diskusi dengan para ahli dalam bidang tata negara mereka mengatakan bahwa Dekrit oleh Presiden legal, karena ada presedennya, yaitu ketika Bung Karno melakukannya di tahun 1959. Adapun Gus Dur, karena ingin membubarkan DPR tanpa mendekritkan kembali ke UUD 1945 terlebih dahulu. Pembubabaran DPR dan DPD adalah konsekuensi dari kembalinya kita pada UUD 1945. Saya mengakui bahwa masalah ini kontroversial. Saya setuju kembali pada UUD 1945 sebagai titik awal ke arah perbaikan dalam segala bidang. Maka saya menganut paham para ahli yang mengatakan bahwa Dekrit tersebut legal. Tentang intervensi maha dahsyat dari negara adidaya kalau rakyat memutuskan kembali pada UUD 1945 kita mempunyai dua pilihan : a priori menerima kemungkinan intervensi ini dan lantas tidak berbuat apa-apa, atau kita lawan, atau paling tidak lakukan dahulu, karena kita negara yang merdeka dan berdaulat. Kalau memang terjadi intervensi yang hebat tersebut, barulah kita hadapi melalui diplomasi atau mempertahankan kemerdekaan kita menentukan kebijakan kita sendiri. Kritik dari Sdr. Basri Hasan bahwa asumsi dasar saya sangat rapuh dan penuh dengan mitos beserta argumentasinya saya terima sebagai perbedaan pendapat. Saya mengucapkan terima kasih dan menggunakan sebagai bahan renungan lebih lanjut. UU Otonomi Daerah telah dijalankan selama kurang lebih 8 tahun, dan ternyata tidak membuahkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat daerah. Banyak dana yang tidak dipakai, melainkan hanya dibelikan SBI atau bocor. Kemampuan para PNS daerah untuk membuat perencanaan sangat rendah. Atas dasar pengalaman saya di Bappenas saya yakin bahwa kepentingan daerah lebih terjamin oleh pemimpin yang bijak di pusat ketimbang dicecerkan pada para pemimpin di daerah yang SDM-nya masih tidak memadai. Ini tidak berarti bahwa secara prinsipiil saya anti, tetapi perlu perencanaan dan pelaksanan dari pusat terlebih dahulu, sambil secara intensif melakukan pendidikan dan pelatihan yang terencana. PNS yang di PHK karena perampingan birokrasi diberi pesangon sangat besar, sehingga yang bersangkutan merasa bahagia dengan PHK itu. Pesangon yang besar harus cukup untuk menunggu sampai yang bersangkutan memperoleh pekerjaan yang layak dan sesuai dengan pendidikan, kemampuan dan martabatnya. Pesangon juga mencukupi untuk dipakai sebagai modal usaha kalau yang bersangkutan memilih berusaha sendiri sebagai pengusaha kecil. Anggarannya memang sangat besar. Maka harus dikaitkan dengan pemberantasan KKN yang tidak tanggung-tanggung, karena KKN yang berkurang akan membuahkan dana yang mencukupi untuk membiayainya reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN atas dasar kecukupan pendapatan PNS dan TNI / POLRI. Cara mengumpulkan anak bangsa yang mewakili seluruh daerah tanpa mengesankan kesukuan dapat dilakukan seperti ketika di tahun 1928 para pemuda kita berhasil mengumpulkan para pemuka pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda. Tentang SDA, justru karena kita dibuat melarat oleh penyedotan oleh para pemodal asing itulah yang harus kita tanggulangi. Maka caranya tidak bisa lain kecuali harus ada keberanian mempertahankan milik kita yang sedang dirampok. Membiarkan yang sekarang berlangsung bagaikan membiarkan rumah tangga kita dirampok karena takut terhadap rampoknya. Ketegangan dengan negara-negara adidaya kita tanggulangi dengan kepala yang menunduk, tetapi tegas mengatakan bahwa kita ingin mandiri dalam pengelolaan SDA kita. Kalau kita sudah humble tetapi kukuh dalam pendirian, dan mereka masih saja mau menangnya sendiri, pilihannya tidak ada lain kecuali melawan, mati, atau menyerahkan seluruh kemerdekaan dan kedaulatan untuk dijajahnya dalam segala bidang, juga militer, pertahanan, keuangan dan kebijakan luar negerinya. Menurut pendapat saya sistem pendidikan kita sangat perlu diubah dengan tidak menutup diri untuk belajar dari siapapun juga, tetapi mampu memakai nalar kita sendiri dan mampu menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi kita yang dinamis, yaitu dengan realistis setapak demi setapak direncanakan menuju pada perbaikan. Yang membuat sistem pendidikan kita buruk adalah komersialisasi pendidikan dan gandrungnya banyak sekali elit bangsa kita pada titel kesarjanaan tanpa mau menguasai ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Kalau bidang yang sedang kita bicarakan adalah reformasi birokrasi, tentu fokus kita haruslah PNS / TNI / POLRI, karena mereka memegang kekuasaan, tetapi pendapatannya yang legal sama sekali tidak mencukupi untuk hidup. Tentang standar upah minimum dan keadilannya dengan tenaga kerja tingkat tinggi, kita harus menentukan angka kelipatan antara gaji tertinggi dan gaji terendah. Misalnya, gaji Direktur Utama hanya boleh 20 kali lipat dari gaji pegawai terendah. Ini tentunya setelah menentukan Upah Minimum. Diposkan oleh RADAR JAMBI di 07:22:00 0 komentar TANGGAPAN KWIK KIAN GIE PLAFORM PRESIDEN Tanggapan Kwik Kian Gie Terhadap Berbagai Pendapat Dan Masukan Tentang Platform Presiden 2009 Saya mengucapkan banyak terima kasih atas banyaknya perhatian dan tanggapan tentang tulisan saya tentang Platform Presiden 2009. Kesemuanya merupakan bahan sangat bermanfaat guna perenungan dan penyempurnaan edisi selanjutnya. Respons saya berikan per topik yang tidak banyak, karena bagian terbesar setuju dengan yang saya kemukakan dalam "Platform Presiden 2009". Tentang Dekrit kembali pada UUD 1945, dalam berbagai diskusi dengan para ahli dalam bidang tata negara mereka mengatakan bahwa Dekrit oleh Presiden legal, karena ada presedennya, yaitu ketika Bung Karno melakukannya di tahun 1959. Adapun Gus Dur, karena ingin membubarkan DPR tanpa mendekritkan kembali ke UUD 1945 terlebih dahulu. Pembubabaran DPR dan DPD adalah konsekuensi dari kembalinya kita pada UUD 1945. Saya mengakui bahwa masalah ini kontroversial. Saya setuju kembali pada UUD 1945 sebagai titik awal ke arah perbaikan dalam segala bidang. Maka saya menganut paham para ahli yang mengatakan bahwa Dekrit tersebut legal. Tentang intervensi maha dahsyat dari negara adidaya kalau rakyat memutuskan kembali pada UUD 1945 kita mempunyai dua pilihan : a priori menerima kemungkinan intervensi ini dan lantas tidak berbuat apa-apa, atau kita lawan, atau paling tidak lakukan dahulu, karena kita negara yang merdeka dan berdaulat. Kalau memang terjadi intervensi yang hebat tersebut, barulah kita hadapi melalui diplomasi atau mempertahankan kemerdekaan kita menentukan kebijakan kita sendiri. Kritik dari Sdr. Basri Hasan bahwa asumsi dasar saya sangat rapuh dan penuh dengan mitos beserta argumentasinya saya terima sebagai perbedaan pendapat. Saya mengucapkan terima kasih dan menggunakan sebagai bahan renungan lebih lanjut. UU Otonomi Daerah telah dijalankan selama kurang lebih 8 tahun, dan ternyata tidak membuahkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat daerah. Banyak dana yang tidak dipakai, melainkan hanya dibelikan SBI atau bocor. Kemampuan para PNS daerah untuk membuat perencanaan sangat rendah. Atas dasar pengalaman saya di Bappenas saya yakin bahwa kepentingan daerah lebih terjamin oleh pemimpin yang bijak di pusat ketimbang dicecerkan pada para pemimpin di daerah yang SDM-nya masih tidak memadai. Ini tidak berarti bahwa secara prinsipiil saya anti, tetapi perlu perencanaan dan pelaksanan dari pusat terlebih dahulu, sambil secara intensif melakukan pendidikan dan pelatihan yang terencana. PNS yang di PHK karena perampingan birokrasi diberi pesangon sangat besar, sehingga yang bersangkutan merasa bahagia dengan PHK itu. Pesangon yang besar harus cukup untuk menunggu sampai yang bersangkutan memperoleh pekerjaan yang layak dan sesuai dengan pendidikan, kemampuan dan martabatnya. Pesangon juga mencukupi untuk dipakai sebagai modal usaha kalau yang bersangkutan memilih berusaha sendiri sebagai pengusaha kecil. Anggarannya memang sangat besar. Maka harus dikaitkan dengan pemberantasan KKN yang tidak tanggung-tanggung, karena KKN yang berkurang akan membuahkan dana yang mencukupi untuk membiayainya reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN atas dasar kecukupan pendapatan PNS dan TNI / POLRI. Cara mengumpulkan anak bangsa yang mewakili seluruh daerah tanpa mengesankan kesukuan dapat dilakukan seperti ketika di tahun 1928 para pemuda kita berhasil mengumpulkan para pemuka pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda. Tentang SDA, justru karena kita dibuat melarat oleh penyedotan oleh para pemodal asing itulah yang harus kita tanggulangi. Maka caranya tidak bisa lain kecuali harus ada keberanian mempertahankan milik kita yang sedang dirampok. Membiarkan yang sekarang berlangsung bagaikan membiarkan rumah tangga kita dirampok karena takut terhadap rampoknya. Ketegangan dengan negara-negara adidaya kita tanggulangi dengan kepala yang menunduk, tetapi tegas mengatakan bahwa kita ingin mandiri dalam pengelolaan SDA kita. Kalau kita sudah humble tetapi kukuh dalam pendirian, dan mereka masih saja mau menangnya sendiri, pilihannya tidak ada lain kecuali melawan, mati, atau menyerahkan seluruh kemerdekaan dan kedaulatan untuk dijajahnya dalam segala bidang, juga militer, pertahanan, keuangan dan kebijakan luar negerinya. Menurut pendapat saya sistem pendidikan kita sangat perlu diubah dengan tidak menutup diri untuk belajar dari siapapun juga, tetapi mampu memakai nalar kita sendiri dan mampu menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi kita yang dinamis, yaitu dengan realistis setapak demi setapak direncanakan menuju pada perbaikan. Yang membuat sistem pendidikan kita buruk adalah komersialisasi pendidikan dan gandrungnya banyak sekali elit bangsa kita pada titel kesarjanaan tanpa mau menguasai ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Kalau bidang yang sedang kita bicarakan adalah reformasi birokrasi, tentu fokus kita haruslah PNS / TNI / POLRI, karena mereka memegang kekuasaan, tetapi pendapatannya yang legal sama sekali tidak mencukupi untuk hidup. Tentang standar upah minimum dan keadilannya dengan tenaga kerja tingkat tinggi, kita harus menentukan angka kelipatan antara gaji tertinggi dan gaji terendah. Misalnya, gaji Direktur Utama hanya boleh 20 kali lipat dari gaji pegawai terendah. Ini tentunya setelah menentukan Upah Minimum. Diposkan oleh RADAR JAMBI
Diposkan oleh ZULFIKAR ACHMAD-AMI TAHER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar